Haji sebagai Ibadah Ritual yang Membangkitkan Kesadaran Pluralitas dan Kemanusiaan Universal

Faiz Badridduja
6 min readJul 13, 2022

--

https://inspiration.rehlat.com/wp-content/uploads/2018/07/Hajj-Pilgrimage.jpg

Semarak dan antusiasisme umat Islam Indonesia ataupun di dunia dalam menunaikan kewajiban ibadah haji di kota suci Mekkah setiap tahun kian tak terbendung. Jemaah tak pernah berkurang bahkan makin bertambah setiap tahun.

Niat umat Islam yang demikian terpatri dan konsisten memenuhi perintah ibadah haji ternyata tak pernah gentar untuk mengundurkan diri. Betapapun sebelumnya berulang-ulang telah terjadi tragedi yang banyak menelan korban yang memilukan, terutama terjadi di kawasan Mina tempat ritual pelontaran jumrah dan di Terowongan Mina.

L Stodard dalam bukunya, The New World of Islam, mengagumi militanisme umat Islam yang tak pernah kendur memenuhi seruan ibadah haji walau diterjang oleh amuk dan badai musibah. Militanisme diakui bukan tidak baik bagi seseorang dalam rangka memelihara tingkat konsistensi beribadah memenuhi perintah Tuhan, melainkan ibadah tidak akan memadai hanya dengan mengandalkan militanisme tanpa penguatan landasan dan pemahaman rasional.

Ibadah hanya dengan mengandalkan militanisme akan mendistorsi esensi ibadah sebatas kepada kepuasan batin dan emosi individual. Padahal signifikansi ibadah memiliki misi lebih luas, yaitu untuk mentransformasi berbagai aspek kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan universal, tidak sebatas kepentingan transformasi diri berlandaskan emosi individual.

Misi ibadah haji dideklarasikan Tuhan dengan tegas untuk semua umat manusia. Dalam firman-Nya dengan menyebut kata waazizn fi nnas bi al -haj, ”Serukanlah wahai Ibrahim kepada umat manusia untuk berhaji”. Di sini seruan Tuhan dengan menggunakan kata fi an-nas bukan kata fi al muminin. Artinya seruan ditujukan kepada semua umat manusia bukan hanya kepada umat Mukmin.

Fazlurrahman dalam bukunya, Islam, mengungkapkan bahwa firman Tuhan tidak selalu bermakna tunggal. Ia memiliki dua makna, yaitu makna ideal spesifik dan makna ideal moral.

Ayat seruan haji ini makna spesifiknya adalah kewajiban haji hanya berlaku kepada umat Islam. Makna ideal moralnya sejauh mana implikasi ibadah haji yang ditunaikan pribadi Muslim/Mukmin memberi magnet kemaslahatan positif dan meningkatkan kesadaran kemanusiaan universal.

Meskipun Ibadah haji tergolong ibadah individual (lazimah) bukan ibadah muta’addiyah (sasaran umum), tidak berarti ibadah haji harus disublimasi oleh pelakunya sekadar memonopoli nikmat ibadah sesuai selera kepentingannya, setelah itu yang bersangkutan merasa tidak mempunyai beban/tanggung jawab sosial ke depan. Perilaku ibadah seperti ini jelas merupakan aroganisme ibadah hanya demi memenuhi sentralisme dirinya bersenang-senang berhubungan dengan Tuhan secara elitis. Sementara hubungan egaliter di antara sesama (hablu mina an-nas) diabaikan/dipinggirkan.

Para anggota jemaah haji tahun 2022 ini merasa teristimewa karena menjadi manusia yang terpilih untuk menjadi bagian dari 60.000 jemaah haji di tengah banyak keterbatasan akibat pandemi Covid-19.

Monopoli ibadah haji

Tidak mengherankan apabila sampai saat ini banyak umat Islam yang cukup uang masih tergoda melakukan monopoli ibadah haji. Bagi kaum kaya yang bermodal uang banyak dengan berbagai upaya mencari peluang agar dapat menunaikan ibadah hajinya berulang-ulang. Mereka dengan mudah melakukannya tanpa beban psikologis merasakan lingkungannya yang belum menunaikan ibadah haji.

Kenikmatan dan bersenang-senang dalam beribadah haji seakan-akan menjadi langganan hiburan privasi demi melunasi rasa haru bercampur rindu bertemu sang Nabi di kota suci. Inilah frame kebatinan semu yang tidak boleh berlanjut apabila titik pijaknya hanya melampiaskan rindu dan hiburan dalam kemasan ibadah. Sementara di pusat kesadaran batinnya tidak tumbuh sifat kemanusiaannya untuk membenahi lingkungan yang ditinggalkannya.

Setelah kepulangannya dari kota suci, mereka berhadapan dengan problem lingkungan dan kemanusiaan yang kumuh lagi telantarkan. Anak-anak yatim dibiarkan tidak mendapatkan kesempatan pendidikan. Gedung sekolah/madrasah nyaris roboh karena dindingnya retak, genteng dan kayu penyangganya dibiarkan berjatuhan. Sungguh merupakan pemandangan yang sangat naif/kontradiktif. Para penduduknya banyak yang kaya dan menunaikan haji berulang-ulang. Namun, lingkungannya terpinggirkan tak tersentuh dari jamahan tangan kaum kaya yang tampaknya rajin beribadah itu.

Kondisi tersebut menggambarkan adanya militanisme umat Islam dalam beribadah haji, meminjam pemikiran Frithjof Schoun dalam bukunya, The Transcendent Unity of Religions, merupakan taraf ibadah yang masih cenderung mengutamakan dimensi eksoterisnya. Dimensi lahiri yang mengandalkan sorak-sorainya kepuasan dan kegembiraan simbolisme fisik. Mereka berulang merenda ibadah haji dengan pulang ke kampungnya berhiaskan materialisme berlambang pakaian haji sebagai pakaian identitasnya, sekaligus mencerminkan capaian pakaian pembedanya dengan lingkungan setempat.

Kepulangan ibadah haji seperti itu, menurut Ali Syari’ati, dalam kitabnya, Hajj, merupakan kepulangan yang tidak orisinal yang jauh dari nilai-nilai fakta, pengetahuan, etika, dan perubahan keimanan menuju emanensi ke jalan Tuhan. Kepulangan palsu yang masih didominasi identitas pakaian, lahiri (dimensi eksoteris) simbol dan status yang menjauhkan nilai-nilai egalitarianisme kemanusiaan universal.

Menurut Frithjof, kondisi tersebut selain dimensi eksoteris/lahiri pada pelaku haji perlu didampingi dengan dimensi esoterisnya (aspek bathin/rohaniah) sebagai kekuatan teransendensi yang memancarkan kesatuan transenden (trancsendence unity). Kekuatan kekekalan rohaniah yang menyatu di kalbu para pelaku haji tumbuh tanpa pamrih, tanpa pembeda identitas, dan tanpa terpaksa guna menginisiasi kepeduliannya membantu ketimpangan dan kekumuhan sosial lingkungannya yang sudah lama ditinggal dan dipinggirkan.

Ali Syariati dengan amat rasional mengeskplorasi filosofi berpakaian ihram dalam ritual haji. Menurut dia, pakaian sehelai kain putih yang dikenakan oleh jemaah haji di setengah badan menggambarkan titik paut kebersamaan antarsemua insan.

Di ritual ihram ini dilepas segala kepentingan identitas. Semua manusia sama, tidak ada perbedaan ras, golongan, kulit hitam dan putih, miskin kaya, pejabat bawahan, kaum pinggiran dan kaum elite. Semua melebur dalam keragaman, kerukunan, dan kesatuan. Tidak ada yang merasa berada di pinggiran dan tidak boleh juga yang merasa berada di tingkat teratas.

Pakaian adakalanya menjadi jurang pemisah dan pemicu perpecahan di antara sesama. Pakaian juga acapkali ditampilkan sebagai penghias kemewahan yang mengundang egoisme dalam merakit kemanusiaan sesama.

Ali Syariati dengan tegas menyatakan, pakaian menyebabkan manusia bersikap serigala yang menerkam dan menindas hewan-hewan lemah yang tak berdaya. Dengan pakaian, demikian Syariati, umat bisa jadi saling menghujat (tidak saling menghargai) mendiskriminasi, rasis, enggan berbagi dan menafikan hidup dalam keragaman, harmoni, persatuan, dan perdamaian.

Oleh karena itu, sehelai pakaian ihram berwarna putih yang dikenakan di setengah badan oleh segenap strata umat di ibadah haji mengandung simbol penolakan pada segala bentuk diskrimasi, rasis, dan anti-kemanusiaan tadi.

Misi kemanusiaan

Uraian di atas menggambarkan betapa kuatnya misi kemanusiaan ditonjolkan ke dalam ritualitas ibadah haji. Misi agung inilah sejatinya yang menjadi oleh-oleh suci bagi para anggota jemaah saat kepulangannya di negara masing-masing.

Bagi negara Indonesia yang penduduknya sebagian besar Muslim sudah pasti efek maslahat dan tidaknya ibadah haji dalam mentranformasi nilai-nilai kemanusiaan tergantung kepada umat Islam. Sejatinya umat Islam menjadi pelopor terdepan dalam mengimplementasikan seluruh hikmah dan misi haji yang terkait dengan teransformasi nilai-niali kemanusiaan; membangun kesejahteraan ekonomi, kesalehan sosial, serta hidup saling harmoni dalam keragaman dengan penuh kedamaian.

Situasi Indonesia saat ini masih dilanda multikrisis. Kondisi ekonomi, sosial, hukum, budaya, dan politik yang belum stabil sangat membutuhkan keterlibatan umat yang saleh, cerdas, berintegritas, dan profesional. Kesenjangan sosial ekonomi antara kaum miskin dan kaya masih tinggi. Kaum oligarki masih kuat menguasai produk dan sumber kekayaan alam Indonesia yang membuat ekonomi pedagang lemah makin terjepit.

Politik yang makin diintervensi oleh donasi kaum oligarki makin memperpuruk partisipasi dan menyusahkan demokrasi politik berjalan secara terbuka dan damai. Penegakan hukum para koruptor dan hak asasi manusia yang masih tebang pilih serta kebijakan yang sering kali dibuat tidak melibatkan publik/kekuatan civil.

Semua itu tidak jarang memicu konfilk di antara sesama bangsa sendiri yang mendukung dengan yang tidak mendukung kebijakan politik. Kondisi makin tidak kondusif dengan munculnya sikap saling menghujat. Narasi kekerasan di media sosial yang menebarkan bahasa rasisme nyaris memorak-porandakan keragaman, kerukunan/harmoni, dan persatuan bangsa yang sudah dibangun oleh founder fathers bangsa di atas bingkai ideologi kebangsaan Pancasila dan konstitusi UUD 45.

Di sisi yang berbeda, stabilitas politik dan pembangunan ekonomi makin terancam karena munculnya kelompok radikalisme baik yang dibuat oleh kaum narator medsos sendiri maupun kaum radikalisme sempalan yang mengudung ideologi produk dari luar.

Sungguh ironis dan amat memalukan apabila yang melakukan narasi politik tidak sehat, menaburkan ketidakadilan dalam bidang ekonomi, hukum, serta yang melakukan rasisme adalah justru para kaum kaya, para politikus, pejabat, dan para buzzer Muslim yang baru meraih pendidikan dari ibadah haji di kota suci Mekkah.

Oleh karena itu, mari kita renungkan dan pahami sedalam-sedalamnya pelajaran dan pengetahuan dari puncak ibadah haji yang dideklarasikan dari khotbah perpisahan Nabi, ”wahai umat manusia buanglah perilaku jahiliyah yang rasis tidak sejalan dengan ajaran tauhid. Darah, kehormatan, harga diri, harta haram bagi orang lain. Janganlah saling membunuh dan mengisap darah sesama. Berilah dan tempatkan wanita dalam hak, kedudukan, dan martabat yang sama. Didiklah para budak untuk mendapatkan ilmu dan kesejahteraan. Tegakkanlah hidup dalam keragaman (tidak membedakan antara ras hitan dan ras putih), persatuan dan kedamaian di antara sesama umat manusia.”

Menurut hadis Nabi inilah yang dimaksud militanisme haji yang benar dan rasional. Para penyandang haji mabrur yang peduli membangun kesejahteraan (ithamu miskin) dan menebarkan kedamaian (ifsyau as-salam) di Bumi. Semoga!

--

--

Faiz Badridduja

a writer but beginner, too much into books, just trying to be better person than before. | IG & Twitter : @the_faizian