Cerpen Zaman Hindia Belanda: an Anthology of Short Stories in Colonial’s Era

Faiz Badridduja
4 min readFeb 21, 2023

--

Koleksi Pribadi

Sebuah buku berisi kumpulan cerita pendek (cerpen) yang bertemakan kolonial Belanda di Indonesia (Nusantara) tempo dulu yang masih bernama Hindia Timur atau Hindia Belanda. Cerita-cerita ini diciptakan dengan cerdas kisaran tahun 2015–2019 oleh Author-nya yakni Iksaka Banu, penulis kelahiran Jogja tahun 1964.

Menurut Joss Wibisono — penulis cerpen juga-, kehebatan Iksaka Banu adalah keberhasilannya menghidupkan Belanda yang sudah pergi dari Nusantara sejak kita (rakyat Indonesia) merdeka. Yang mana kondisi sebaliknya terjadi di Belanda bahwa para penulis “Netherlands” zaman sekarang gagal menampilkan pelaku utama Indonesia dalam karya-karya mereka, padahal kita sudah hampir tiga perempat abad merdeka.

Iksaka Banu merupakan penulis karya sastra pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa (2014) kategori prosa berjudul “Semua untuk Hindia” yang berlatar kolonial. Maka hadir kembali tiga belas cerita berlatar yang sama dalam “Teh dan Penghianat” ini yang mana kita diajak bertamasya ke masa silam.

Masa lampau yang dimaksud adalah masa di mana awal mula sepeda dipakai oleh kaum pribumi (bumi-putera) di Hindia Belanda, ketika wabah cacar mengancam penghuni Nusantara ini (baik kaum Eropa, China, Arab maupun Pribumi) sedangkan sarana dan prasarana transportasi masih terbatas, saat “Globe” masih dianggap sebagai produk pencerahan budi yang megah dan mewah, dan waktu rekayasa fotografi tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara manual yang merepotkan dan tatkala bisnis rempah diperebutkan oleh golongan-golongan Eropa (Portugis, Inggris dan Belanda) di beberapa titik Nusantara.

Iksaka Banu memunculkan sejarah sebagai pergulatan manusia berikut suka-duka atau susah-senang juga kekecewaan dan harapan yang meliputi keseluruhannya. Kebebalan-kebebalan maupun nalar tiap-tiap generasi yang berbeda. Semuanya bahkan disertai dengan percikan-percikan antara golongan agama dan ilmuwan, militer dan sipil, serta rakyat dan penguasa, lengkap dengan segala koalisi keberpihakan maupun pengkhianatan-pengkhianatan.

Tiga belas cerita pendek itu di antaranya berjudul; (1) “kalabaka”, (2) “tegak dunia”, (3) “teh dan pengkhianatan”, (4) “variola”, (5) “sebutir peluru saja”, (6) “lazarus tak ada di sini”, (7) “kutukan lara ireng”, (8) “di atas kereta angin”, (9) “belenggu emas”, (10) “ nieke de flinder “, (11) “tawanan”, dan (12) “Indonesia memanggil”, serta diakhiri dengan (13) “semua sudah selesai”.

Dalam menulis fiksi sejarah, menurut penulisnya sendiri bahwa kesulitannya berada hampir di semua bagian dan melibatkan banyak faktor. Berawal dari riset lapangannya, riset literaturnya (membaca buku sejarah), mencari sumber beritanya (menemukan koran masa lalu), wawancara dengan sejarawan, hingga ke bagian membuat lini masa sejarah yang tepat, sebab urgensinya adalah kesesuaian antara sejarah nyata dengan sisi fiktifnya.

Di antara semua yang dianggap sulit itu, barangkali yang paling sulit adalah menentukan cara bertutur (membuat percakapan) yang pas tanpa mengorbankan tulang punggung sejarah maupun bangunan tegak kisah fiksinya. Sebab jika berat sebelah maka akan sangat kentara sekali apakah itu fakta atau fiktif.

Apabila terlalu banyak meng-akomodir fakta-fakta sejarah maka akan hilang unsur-unsur fiksi dari cerita, namun bila fakta sejarah diabaikan hanya karena bisa berlindung dalam kata “cerita fiksi” maka gelombang protes berupa kritik akan datang dari para pembaca yang paham sejarah.

Bagi sang Author, yang terpenting adalah alur cerita setiap cerpennya diikuti dan dicerna dengan mudah oleh para pembaca khalayak umum, demikian juga pesan yang ingin dihantarkan itu sampai dalam kesimpulan penikmat bacaan sastra ini. Pesan-pesan baik itu — tanpa kesulitan berarti- dapat diserap tanpa berulang-ulang membaca atau berlama-lama mengernyitkan dahi.

Penyebabnya adalah sebagaimana yang ia sampaikan juga dalam “ Semua untuk Hindia “ (2017) bahwa;

harapan yang ia miliki sebagai penulis fiksi sejarah adalah cerita-cerita yang ia cipta dan buat itu menjadi jembatan kecil atau batu loncatan yang berfungsi titik perkenalan awal bagi generasi muda menghantarkan mereka agar tertarik dan suka pada bacaan-bacaan sejarah, terutama sejarah negara sendiri baik itu setelah maupun sebelum merdeka. Sebab ia meyakini bahwa sejarah negeri ini sungguh kaya dan penuh warna dalam wujud buku sejarah aslinya.

Keunikan yang jadi kelebihan atau karakteristik buku ini adalah dari ketiga belas cerita itu kita sebagai pembaca boleh atau diizinkan untuk membaca secara bebas dan merdeka untuk memilih judul mana yang ingin didahulukan, sebab secara latar maupun alur cerpen-cerpen tersebut memiliki sifat independen tanpa terpengaruh atau kaitan satu sama lain dengan kisah yang ada.

Boleh jadi kita hendak membaca “lazarus” lebih dahulu dari “kalabaka” dan “variola”, kita juga tidak masalah bila menamatkan bagian akhir seperti “Indonesia memanggil” dulu sebelum kemudian menyelesaikan “tawanan” atau “tegak dunia” dan “belenggu emas”.

Selain itu, buku cerpen ini juga dilengkapi dengan ilustrasi satu halaman dari “ Sang Ilustrator “ Adi Suta di setiap cerpen, jadi totalnya ada tiga belas gambar yang menurut Iksaka Banu sebagai ilustrasi dengan teknik arsiran tingkat dewa. Skesta gambar yang jadi penunjang cerita ini mengingatkan ia kepada goresan pena komikus Italia bernama Paolo Eleuteri “Druuna” Sarpieri. Ilustrasi tersebut juga memudahkan kita sebagai pembaca dalam “membayangkan” kejadian/peristiwa yang terjadi di alam pikiran atau di dunia ide yang kita ciptakan sendiri.

Identitas Buku:

Judul Buku: Teh dan Pengkhianat

Penulis: Iksaka Banu, Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tempat Terbit: Jakarta, Tahun Terbit: 2019,

ISBN: 978–602–481–137–2, Jumlah Halaman: 164 Hal.

Originally published at https://www.qureta.com.

--

--

Faiz Badridduja

a writer but beginner, too much into books, just trying to be better person than before. | IG & Twitter : @the_faizian